English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, November 30

"Catatan Bugis Di Rantau & Budayanya"


RAJA BONE 17
Batari Toja Daeng Talaga Matinro-E ri Tippuluna (1714–1715)

Batari Toja Daeng Talaga menggantikan ayahnya La Patau Matanna Tikka menjadi Mangkau’; di Bone, karena dialah yang dipesankan oleh ayahnya sebelum meninggal dunia. Disamping sebagai Arumpone, Batari Toja juga sebagai Datu Luwu dan Datu Soppeng. Sebelumnya Batari Toja diangkat sebagai Arung Timurung, nanti setelah diangkat menjadi Arumpone, barulah Timurung diserahkan kepada adiknya yang bernama We Patimana Ware. We Patimana Ware inilah disamping sebagai Arung Timurung, juga sebagai Datu Citta.

Batari Toja diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 17 Oktober 1704 M. dan diberi gelar Sultanah Zaenab Zakiyatuddin. Batari Toja kawin dengan Sultan Sumbawa yang bernama Mas Madinah. Tetapi perkawinan itu tidak berlangsung lama akhirnya bercerai sebelum melahirkan anak. Perkawinan ini memang hanya memenuhi pesan La Tenri Tatta Petta To RisompaE semasa hidupnya yang menghendaki Batari Toja dikawinkan dengan Sultan Sumbawa Mas Madinah.Batari Toja resmi diceraikan oleh Mas Madinah pada tanggal 27 Mei 1708 M.

Sultan Sumbawa kemudian kawin di Sidenreng dengan perempuan yang bernama I Rakiyah Karaeng Agangjenne. Perkawinannya itu membuat Batari Toja marah, I Rakiyah dikeluarkan sebagai Karaeng Agangjenne, sehingga pergi ke Sumbawa bersama suaminya. Perkawinan I Rakiyah dengan Sultan Sumbawa Mas Madinah melahirkan seorang anak perempuan yang bernama I Sugiratu. Karaeng Agangjenne adalah anak mattola (pewaris) dari La Malewai Arung Berru. I Rakiyah Karaeng Agangjenne adalah anak dari La Malewai Arung Berru Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama I Sabaro anak Karaeng Karunrung Tu Mammenanga ri Ujungtana.

Batari Toja Daeng Talaga lahir pada tahun 1668 M. kemudian diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 19 September 1714 M. Karena pada saat itu banyak upaya-upaya dari orang lain untuk menghalanginya, maka Batari Toja menyerahkan kepada saudaranya yang berada di Gowa. Batari Toja minta perlindungan kepada saudaranya yaitu La Pareppai To Sappewali SombaE ri Gowa . Sementara akkarungengE ri Bone diserahkan kepada saudaranya yang bernama La Padassajati To Appamole Arung Palakka.

La Padassajati disetujui oleh Adat bersama Arung PituE untuk menjadi Arumpone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga.


»»  Selengkapnya

SEJARAH ORANG-ORANG BANJAR DI PULAU LOMBOK DAN SUMBAWA


Saat pertama kali menginjak Pulau Lombok, kesan pertama yang muncul adalah pulau gersang dan panas menyengat. Memasuki kota-kota yang ada disana seperti Mataram, Ampenan,Cakranegara ada aroma dan bau kotoran kuda yang merasuk ke indra penciuman. Kesan itu berangsur-angsur hilang saat langkah kaki membawa badan ini memasuki kawasan pemukiman, yang oleh penduduk setempat disebut Kampung Banjar. Mayoritas penduduknya adalah suku Banjar yang berasal dari Banjarmasin atau wilayah lain di Propinsi Kalimantan Selatan sekarang. Kampung Banjar terletak di kawasan kota Mataram. Kota Mataram ( yang menjadi ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat) terbagi dalam tiga wilayah: masing-maasing Ampenan sebagai pusat perniagaan lama, lalu Mataram sebagai pusat pemerintahan dan Cakranegara yang dijadikan kawasan baru untuk perniagaan.

Menurut Drs.H.Lalu Mudjitahid, orang-orang Banajar di Pulau Lombok adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kota Mataram, yang notabene dahulunya merupakan sebuah kerajaan yang berpengaruh di kawasan itu.

Berkecamuknya peperangan antara kerajaan orang Bali yang ada di Pulau Lombok dengan kerajaan milik penduduk asli Pulau Lombok mengharuskan orang-orang Banjar ikut berperang dan berpihak pada kerajaan setempat milik orang Lombok.

Menurut keterangan, sejak masa itulah peranan orang orang dari suku Banjar di Bumi Selaparang dimulai. Hanya saja tidak jelas, sejak tahun berapa masyarakat Banjar melakukan eksodus ke Pulau Lombok untuk membantu pihak kerajaan milik orang-orang suku Sasak itu.
Bila berpatokan pada tahun berdirinya Masjid Banjar di Kampung Banjar-Ampenan yang berangka tahun 1916, maka diperkirakan kedatangan orang-orang Banjar ke Pulau Lombok sudah dilakukan sebelum itu. Artinya orang-orang Banjar kemungkinan besar sudah ada disana jauh sebelum tahun 1900-an.

Hal ini diperkuat perkataan pejabat Pemda Nusa Tenggara Barat di atas, bahwa orang-orang Banjar sangat erat kaitannya dengan sejarah kota Mataram. Bukti lain adalah keterangan dari beberapa naskah lama hasil gubahan para pujangga lama kita semisal Tutur Candi atau Hikayat Lambung Mangkurat yang memuat riwayat tentang sejarah Raja-raja Banjar dan Kotawaringin, maupun yang ada di Pulau Lombok sendiri seperti Babad Selaparang dan Babad Lombok.baik yang ada di Kalimantan khususnya Banjarmasin.

Naskah-naskah lama tersebut ada menyinggung tentang keberadaan orang-orang Banjar disana, jauh sebelum tahun 1900-an.

Dalam Hikayat Lambung Mangkurat (pada bagian yang menceritakan tentang sejarah raja-raja Banjar dan Kotawaringin) disebutkan adanya hubungan perkawinan antara kerabat Kerajaan Banjar bernama Raden Subangsa (yang di kemudian hari, sesudah lama menetap di Pulau Lombok diberi gelar Pangeran Taliwang) dengan puteri dari raja Kerajaan Selaparang Islam bernama Mas Surabaya. Yang mana dari hasil perkawinan ini menurunkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Raden Mataram.

Sedangkan perkawinan Raden Subangsa dengan puteri raja Kerajaan Selaparang Islam yang menetap di Pulau Sumbawa, yaitu Mas Penghulu, melahirkan anak laki-laki juga, yang kemudian diberi nama Raden Bantan.

Siapakah sebenarnya Raden Subangsa? Raden Subangsa adalah cucu dari Marhum Panembahan, bersaudara lain ibu dengan Pangeran Singamarta (Pangeran Singamarta adalah anak oleh Ratu Hayu yang merupakan adik perempuan dari Ratu Anom atau Sultan Saidullah), dengan kata lain ia adalah anak perempuan penghabisan dari Marhum Panembahan.

Masa itu adalah dalam masa pemerintahan Sultan Ri'ayatullah atau Sultan Tahlilullah atau dengan sebutan yang lebih terkenal sebagai Pangeran Ratu, yang memerintah antara tahun 1642 sampai 1660 Masehi.

Raden Subangsa sendiri, yang di kemudian hari sesudah lama menetap di Kerajaan Selaparang sepeninggal isteri terdahulu (Mas Surabaya), menikah lagi dengan Puteri Mas Penghulu kemudian bergelar Pangeran Taliwang.

Kemungkinan ada benarnya apa yang dikatakan Prof.Dr.Sumarsono (Dekan Pasca Sarjana Universitas Udayana - Bali) bahwa; dalam cerita rakyat Bima disebutkan asal usul raja-rajanya adalah dari tanah Banjar. (Sumarsono, dalam 'Urang Banjar dan Kebudayaannya', 2005:238)
Kembali pada keterangan Drs.H.Lalu Mudjitahid (pernah menjabat sebagai Bupati KDH. Kab. Lombok Barat) dan dikaitkan dengan penjelasan tertulis yang ditemukan dalam Babad Lombok, disebutkan; hubungan Kerajaan Banjarmasin dengan Kerajaan Selaparang Islam terjadi ketika raja Kerajaan Selaparang Islam meminta bantuan kepada Kerajaan Banjarmasin.
Kerajaan Banjarmasin kemudian mengirimkan dua orang pembesarnya bernama Patih Sutrabaya (Sudarbaya ?) dan Patih Pelo ke Pulau Lombok untuk membantu Kerajaan Selaparang yang saat itu sedang memerangi Arya Banjar Getas, yaitu pimpinan kerajaan kecil (di Pulau Lombok disebut 'kedatuan') Banjar Getas yang berpusat di wilayah Mamela, kurang lebih di sebelah utara kota Praya sekarang.

Kedatuan Banjar Getas dapat dikalahkan, tetapi pemimpinnya; Arya Banjar Getas beserta beberapa pengiringnya mampu meloloskan diri, dan mereka berlindung di Kerajaan Pejanggik.
Setelah peperangan itu, Kerajaan Selaparang Islam yang membawahi seluruh kedatuan Sokong, Bayan, Sasak Langu, Pejanggik, Suradadi dan Parwa, menjadi aman dan masyhur ke seluruh pelosok wilayah Nusantara pada sekitar abad ke-17.

Hanya saja di dalam Babad Lombok tidak disebutkan, apakah setelah selesai peperangan antara Kerajaan Selaparang dengan Banjar Getas, para prajurit Kerajaan Banjarmasin yang dipimpin Patih Sutrabaya dan Patih Pelo itu pulang kembali ke negeri Banjar atau kah terus menetap di Pulau Lombok. Bila pilihan para bangsawan Banjar tersebut adalah yang terakhir ada kemungkinan merekalah para pioner orang-orang Banjar sekarang yang menetap di kota Ampenan, Mataram, Cakranegara dan tempat-tempat lain di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Babad Selaparang
Ada pun sumber tertulis lainnya selain Babad Lombok adalah Babad Selaparang. Babad Selaparang ditulis dalam bentuk tembang macapat berbahasa dan beraksara Sasak - Lombok. Menilik definisi 'babad' yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia; Babad Selaparang dapat dikategorikan sebagai babad dalam arti yang sebenarnya. Hal ini didasarkan pada hasil temuan isi Babad Selaparang, yaitu memuat tentang riwayat atau sejarah keberadaan Kerajaan Selaparang yang ada di Pulau Lombok.

Dalam Babad Selaparang ada mengisahkan beberapa peristiwa yang terjadi di wilayah Kerajaan Selaparang-Lombok, yang saat itu diperintah oleh Prabu Kertabumi, dengan dibantu oleh seorang patih yang bernama Arya Banjar Getas.

Berbeda dengan Babad Lombok, Babad Selaparang dalam hal memberikan keterangan tentang asal mula keberadaan orang-orang Banjar yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa sangat sedikit sekali. Babad selaparang sama sekali tidak menyinggungnya, apalagi menyebutkan secara rinci mengenai tahun maupun bulan berkenaan dengan permintaan dari penguasa Kerajaan Selaparang-Lombok, Prabu Kertabumi, kepada Kerajaan Banjarmasin agar mengirimkan bantuan balatentara sebagai tambahan kekuatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi dalam wilayah Kerajaan Selaparang yang dilakukan oleh patihnya sendiri bernama Arya Banjar Getas, diluluskan oleh penguasa Kerajaan Banjarmasin dengan mengirimkan dua orang pembesarnya yang berpangkat patih, yaitu Patih Silo dan Patih Laga beserta sejumlah anggota pasukan pilihan.
Disini, antara Babad Lombok dan Babad Selaparang ada kesamaan dalam hal menerangkan perutusan yang diminta dan dikirim oleh masing-masing kerajaan. Walau pun detail nama person (orang) yang bersangkutan agak berbeda. Hal ini mungkin akibat perbedaan penulis babad itu sendiri . Penulis Babad Lombok menyebut Patih Sutrabaya dan Patih Pelo, sedangkan Babad Selaparang menyebutnya Patih Silo dan Patih Laga.

Dikaitkan dengan keterangan tentang asal mula kedatangan orang-orang Banjar di Pulau Lombok, sumber lain ada menyebutkan bahwa orang-orang Banjar ternyata sudah lebih dulu ada jauh sebelum kedatangan kedua pembesar Kerajaan Banjarmasin beserta anggota pasukan mereka.
Sumber itu menyebutkan bahwa Arya Banjar merupakan keturunan bangsawan Kerajaan Banjarmasin yang lebih dahulu dan telah lama menetap di Pulau Lombok. yang mana dalam catatan Babad Lombok, Arya Banjar ini sebelum menjabat sebagai patih Kerajaan Selaparang sudah lebih dulu mempunyai wilayah pemerintahan sendiri berupa kerajaan kecil (kedatuan) Banjar Getas.

Itulah mungkin sebabanya mengapa Arya Banjar Getas (untuk menyebut nama pemimpin Kedatuan Banajar Getas) begitu beraninya 'ba-ulah idabul' atau melakukan pemberontakan terhadap atasannya sendiri Prabu Kertabumi, raja Kerajaan Selaparang Islam.

Jadi, mungkin wajar-wajar saja bagi penguasa asli kerajaan di Pulau lombok -Prabu Kertabumi- untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Banjarmasin demi memadamkan pemberontakan yang dilakukan Arya Banjar Getas, yang ternyata masih kental darah Banjar-nya. Dan adalah wajar pula bila Prabu Kertabumi kemudian membalas budi baik pada Kerajaan Banjarmasin dengan cara memberikan lahan pemukiman sabagai tempat menetapnya prajurit-prajurit Banjar yang tidak sedikit jumlahnya beserta para pembesar Kerajaan Banjarmasin yang berkeinginan menetap di Pulau Lombok karena enggan pulang ke Banua.
»»  Selengkapnya

Ai Kadewa


TUNGKUP SAMAWA
(Tabir sejarah yang tak terungkap)

Ditulis Oleh : Yudi Manyurang S.Ip
(Pemerhati Budaya dan Staf Pengajar AMIKOM Sumbawa)


“…Sejarah memang tidak memberikan solusi, tetapi memberikan bahan untuk mendapatkan Kearifan. Bangsa ini bukan hanya kurang mengarifi sejarah, tetapi juga masih terus memelihara dendam sejarah. Juga sibuk mencari kebenaran sendiri, sehingga lupa bagaimana merajut KeIndonesiaan. Padahal, hanyalah bangsa yang bisa melupakan dendam sejarahnyalah yang akan menjadi bangsa yang besar…”
(Taufik Abdullah;  Kompas, 6 Agustus 2005)

…Gila we’ batin tu kami
Den kuning bae si guger
Pang kami kasungkar puin…

(Lawas Samawa)
Sekilas Tentang Musakara Rea

Beberapa waktu yang lalu, telah dilaksanakan Musakara Rea Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) dalam rangka merevitalisasi diri agar kedepannya mampu memelihara segenap tata nilai yang terkandung didalam adat istiadat, tradisi, kearifan lokal dan berbagai peninggalan warisan sejarah yang harus dilestarikan, diwariskan serta dikembangkan kepada generasi akan datang sebagai pewaris adat dan budaya Tau ke Tana’ Samawa. Berangkat dari semangat kebersamaan dan kekeluargaan sehingga event besar tersebut mampu terlaksana dengan “baik” meskipun pada dasarnya tidak menyentuh akar dari kebudayaan kita sebagai Tau ke Tana’ Samawa, namun Penobatan Putra Mahkota DMA Kaharuddin Sebagai SULTAN SUMBAWA dengan Gelar SULTAN KAHARUDDIN IV. Hanya penobatan inilah yang setidaknya membuat para peserta merasa senang dan terharu. Mungkin bagi sebagian kalangan melihat event tersebut telah menghasilkan sesuatu yang besar sesuai dengan nama Musakara Rea atau telah menciptakan sejarah baru bagi Tau ke Tana’ Samawa. Akan tetapi semua itu, ternyata kita hanya mampu untuk berkhayal tentang adat istiadat, budaya, tradisi, kearifan local serta berbagai peninggalan sejarah. Bagaimana tidak, dalam proses Musakarah Rea yang notabene BESAR hanya mampu melahirkan pemikir-pemikir yang kerdil yang hanya ingin mempertahankan dan memperkenalkan kehebatan diri sendiri tanpa mau sedikit mendengar, merenungkan serta meresapi apa sebetulnya hakekat Musakara Rea sehingga kegiatan ini sangat penting untuk dilakukan. Tetapi yang terjadi adalah upaya mengukuhkan budaya ‘menjilat’ atau didalam bahasa Samawa kita “malela”, sehingga tak banyak dari peserta yang kecewa terhadap pelaksanaannya karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kita sebagai Tau ke Tana’ Samawa. Inilah suasana yang terjadi didalam proses Musakara Rea. Tentu semua ini membuat persendian kita kecewa
Sebagai generasi muda yang telah ambil bagian dalam event tersebut sangat menaruh harapan besar pada Musakarah Rea, untuk membicarakan Sumbawa dalam banyak hal terlebih berbicara Sumbawa sampai ke akar-akarnya, misalnya sejarah masuknya Islam ke Tana’ Samawa dan persoalan yang menyangkut tentang hukum adat kita Tau ke Tana’ Samawa, ini hampir tak tersentuh. Kenapa ini penting untuk dikemukakan karena ada beberapa versi literature yang berbicara tentang sejarah masuknya Islam ke Tana Samawa, namun mungkin hal ini tak banyak orang yang mengetahui. Untuk lebih memperjelas, ada tiga versi tentang sejarah masuknya islam ke Tana Samawa yaitu (1). Manggaukang Raba, mengatakan dalam Bukunya bahwa Islam masuk ke Tana Samawa sekitar akhir abad 15 dan awal abad 16 atau tepatnya tahun 1623 masehi. (2). Dalam Buku Bima and Sumbawa terjemahan Muslimin Yasin, menuliskan bahwa Islamisasi di Tana Samawa adalah sekitar tahun 1620 masehi. (3). Dalam buku Begawan Hamid yang dipublikasikan oleh Dinas pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Sumbawa, mengatakan bahwa Islam masuk ke Sumbawa sekitar tahun 1674 masehi. Ini penting untuk kiranya dipublikasikan karena kekwatiran kita pada generasi akan datang yang telah membaca salah satu versi sehingga menjadi satu kesimpulan yang pada akhirnya akan menyesatkan dalam ruang lingkup sejarah yang memalukan sekaligus memilukan kita karena bukti-bukti dari literatur yang ada adalah gambaran sesungguhnya bahwa sejarah masuknya Islam ke Tana Samawa masih menjadi perdebatan yang memerlukan kajian dan penelitian secara otentik serta mampu kita pertanggungjawabkan disamping bahwa sesungguhnya proses Islamisasi Sumbawa masih belum jelas dan bisa dikatakan “Rapuh”. Catatan kritis yang bisa disampaikan kepada para penulis sejarah, adat istiadat dan budaya Samawa, kiranya mencantumkan literatur yang jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan tentang apa yang ditulisnya.
Sementara di sisi lain, Sultan Muhammad Kaharuddin IV dalam silaturrahmi dengan pers (selasa,18/2/2011) di Istana Bala Kuning. Yang Mulia Sultan Kaharuddin IV menjelaskan sekaligus menegaskan bahwa Hari Jadi Sumbawa jatuh pada tanggal 1 Muharram 1648. Perhitungan ini berdasarkan pada resminya Sumbawa menjadi Kesultanan dan resmi menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat. (Baca : Gaung NTB, Rabu, 19 Januari 2011). Jika demikian adanya, maka satu hal yang mungkin menjadi pertanyaan kita adalah apa korelasi antara Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa yang resmi terbentuk dengan empat Kerajaan Tertua di Tana’ Samawa seperti yang telah kita ketahui bersama yaitu, Kerajaan SERAN, Kerajaan UTAN KADALI, Kerajaan SAMAWA PUIN dan Kerajaan EMPANG
Jika kita mengacu pada dua literatur diatas, Manggaukang Raba dan Muslimin Yasin maka bisa kita simpulkan bahwa sesungguhnya Islam telah lebih dulu masuk ke Tana’ Samawa sebelum Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa resmi didirikan. Kesimpulan ini cukuplah mendasar mengingat dan melihat tahun masuknya Islam atau proses Islamisasi di Tana’ Samawa. Sementara jika kita mengacu pada literatur Begawan Hamid, maka kesimpulannya adalah bahwa telah resmi Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa didirikan barulah Islam masuk ke Tana’ Samawa. Jika benar demikian, maka TUNGKUP SAMAWA dimana harus ditempatkan di dalam kontek sejarah Tau ke Tana’ Samawa karena Tungkup Samawa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah dan proses berdirinya Kerajaan dan Kesultanan Samawa serta Islamisasi Tana’ Samawa. Sungguh menyesatkan kita semua…

Lantas sekarang kita punya keinginan untuk mengembangkan segenap apa yang telah kita miliki sebagai warisan nenek moyang kita, dengan bangga kita memperkenalkan ke dunia luar tentang Sumbawa dengan segala ke-Samawa-annya padahal sejarah sebagai pondasi kita untuk berpijak masih kabur dan tidak dapat kita pertanggungjawabkan secara ilmiah. Suatu kondisi yang sangat menyesatkan buat kita semua. Lantas, apakah kondisi seperti ini masih tetap kita pelihara sebagai bagian dari proses sejarah kita? Orang bijak, tentunya akan menjawab semua ini.
Berangkat dari lawas tersebut di atas, maka harapan besar generasi muda yang terlibat didalam Musakarah Rea LATS adalah mengangkat sekaligus membongkar tentang segenap tata nilai yang terkandung dalam adat istiadat, budaya, tradisi dan kearifan lokal sehingga mampu mengetahui, mengerti dan memahami dengan sebenar-benarnya sampai ke akar-akarnya tentang asal-usul dan sejarah Tau ke Tana’ Samawa. Namun, ternyata semua itu jauh api dari panggangnya karena mungkin tak  banyak yang tahu tentang Tau ke Tana’ Samawa yang sesungguhnya selain Yang Mulia Sultan Kaharuddin IV yang telah banyak memberikan tauladan dan pencerahan yang mencerdaskan karena tanpa itu Musakara Rea tidak akan berarti apa-apa, padahal panitia pelaksana terutama seksi penyiapan tempat dan arena yang telah bekerja keras untuk turut mensukseskan acara tersebut. Lantas, mau dibawa kemana generasi muda Sumbawa jika adat istiadat Samawa belum terkuak dan belum menjadi identitas kita bersama.
Berbicara tentang budaya Tau ke Tana’ Samawa bukanlah hal yang mudah untuk dikemukakan karena budaya kita Tau ke Tana’ Samawa bukanlah budaya yang datangnya begitu saja atau budaya yang serampangan akan tetapi berbicara budaya Tau ke Tana’ Samawa harus membutuhkan kajian dan penggalian secara lebih mendalam untuk mengangkat harkat dan martabat baik budaya dan religi Tau ke Tana’ Samawa. Inilah yang tidak terjadi di dalam Musakarah Rea LATS. Jadi tidak segampang yang kita bayangkan untuk membuka keaslian atau menilai Adat dan Budaya Sumbawa yang sebenarnya. Ini bisa kita buktikan dengan lawas kita Tau Samawa :
…Uleng lalaja tontonan,
Sate gayong bangsa sumer.
Parasa gampang rua na’…
…Mana pitu ilat mu ntek
Tingi mu jonyong gagala
Po’ gading siong peras pang…
Berkaca dari lawas diatas, maka benang merah yang bisa kita tarik adalah bahwa sesungguhnya upaya pelestarian, pewarisan dan pengembangan adat dan budaya Tau ke Tana’ Samawa tidak terlepas dari pengetahuan dan pengertian serta pemahaman tentang akar adat dan budaya serta akar sejarah dalam merumuskan gambaran masa depan karena tanpa semua itu mustahil adat dan budaya kita bisa kokoh didalam serbuan arus globalisasi dan modernisasi yang semakin gencar.
Disamping itu juga, kita berharap bahwa pelestarian, pewarisan dan pengembangan segenap tata nilai yang terkandung didalam adat istiadat dan budaya, tradisi dan kearifan lokal mampu untuk berbicara banyak dalam proses transpormasi budaya sehingga mampu menjadi modal sosial dan etos Tau Samawa karena tanpak modal sosial dan etos kebersamaan atau rasa memiliki ke-Samawa-an tentu akan sia-sia agenda besar yang akan kita gagas.

Lantas, apa itu Tungkup Samawa?
Berangkat dari kekokohan dan kharisma serta karakteristik Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa sehingga menjadi Kerajaan dan Kesultanan yang cukup di segani di seantero jagad raya. Sebagai bukti kekokohan Kerajaan dan Kesultanan Samawa, secara fisik dapat kita temukan Istana Tua Dalam Loka yang sampai saat ini masih berdiri kokoh ditengah-tengah kita dan bahkan mungkin Istana Tua Dalam Loka merupakan bangunan kayu terbesar di Asia Tenggara. Disamping itu juga, Istana Tua Dalam Loka merupakan benteng tempat Sultan dan Keluarganya berteduh dan bekerja untuk kesejahteraan dan keadilan serta kemakmuran Tau ke Tana’ Samawa. Namun, secara non fisik benteng Kerajaan dan Kesultanan Samawa tak banyak yang tahu dan bahkan mungkin Tau Samawa sendiri tidak tahu menau sehingga bisa disimpulkkan benteng non fisik itu tidak ada. Akan tetapi sesungguhnya hal itu ada dan dimiliki oleh Kerajaan dan Kesultanan Samawa. Untuk lebih jelas, secara non fisiknya telah didirikan suatu benteng yaitu TUNGKUP SAMAWA.
Tungkup merupakan Benteng Kerajaan dan kesultanan Sumbawa yang notabene adalah Benteng “Mistis” kerajaan dan kesultanan Sumbawa pada saat pertamakali Kerajaan Sumbawa didirikan di Tana’ intan bulaeng ini. Tungkup adalah bukti sejarah kekokohan dan kejantanan serta harkat dan martabat Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa kala itu. Karena Tungkup sangat erat kaitannya dengan asal-usul kerajaan dan Kesultanan Sumbawa atau proses berdirinya Kerajaan dan kesultanan Sumbawa. Disamping itu juga yang tak kalah pentingnya adalah kaitan Tungkup Samawa dengan sejarah masuknya Islam ke Tana’ Samawa. Namun, sangat disayangkan keberadaannya hampir tidak diketahui oleh banyak orang apalagi fungsi dan tujuan utama didirikannya. Akan  tetapi bagi kalangan-kalangan tertentu cukup paham tentang keberadaan Tungkup Samawa namun berbicara tentang Tungkup seakan-akan menjadi hal yang Tabu untuk dibicarakan padahal ini sangat penting untuk sebuah pondasi ataupun akar didalam menentukan grand disain Sumbawa masa depan. Jika demikian adanya, lantas apa  sesungguhnya korelasi Tungkup Samawa dengan Sejarah masuknya Islam ke Tana Samawa? Ini penting kiranya untuk diungkapkan sebagai bahan refrensi kita didalam menulis kembali tentang sejarah kita sebagai Tau ke Tana’ Samawa sehingga dapat memberikan pandangan yang  jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam banyak hal.
Informasi yang berkembang dari beberapa tokoh masyarakat yang berhasil penulis temui adalah Bapak M. Nagib Uyang, salah satu tokoh masyarakat Utan dan Bapak Muslimin Yasin, sejarawan Tana’ Samawa. Beliau mengatakan bahwa lokasi Tungkup Samawa berada diantara jembatan dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa, yang tepatnya dulu disitu terdapat pohon beringin sebagai tempat dan lokasi Tungkup Samawa dibangun saat itu. Konon saat itu, aroma mistis juga turut mewarnai perjalanan prosesi pembuatan dan penetapan Tungkup Samawa dengan harapan Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa selalu berada didalam perlindungan Yang Maha Kuasa dan dari ancaman malapetaka serta bala bahaya yang bisa merusak tatanan kehidupan dan keberlangsungan Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa demi kemakmuran  Tau ke Tana’ Samawa.
Dari semua apa yang telah teruraikan diatas, maka patut kiranya kita sebagai bagian dari Tau  ke Tana’ Samawa ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terpasang dan tertanam didalam Tungkup tersebut sehingga tidak membuat kita menjadi gamang terhadap tradisi dan kearifan lokal kita sendiri. Tak banyak yang bisa kita harapkan, tetapi mungkin paling tidak dengan informasi tentang keberadaan Tungkup tersebut kita mampu menemukan semangat kebersamaan, etos kita sebagai Tau Samawa serta modal sosial kita karena bagaimanapun juga Adat Istiadat dan Budaya Samawa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai Tau Samawa yang patut untuk kita lestarikan, sebagaimana didalam lawas kita Tau Samawa :
…Leng dalam batu ku tembok,
Ngawang ko langit  ku tutet
Ya ku bosan ku gantuna…
Inilah bagian terpenting dari sejarah berdirinya Kerajaan dan Kesultanan Samawa yang tak pernah terungkap sehingga tak banyak pula yang mengetahui baik historis, fungsi dan tujuan utama didirikannya. Mudah-mudahan dengan keluarnya tulisan ini semua pihak dapat membuka mata, membuka hati untuk sebuah kepedulian yang dalam karena bukankah budaya dan kebudayaan itu tumbuh dan berkembang dari rasa peduli. Semogalah… (Kepala_Uyang)
»»  Selengkapnya

Satera Jontal


Konon, saat manusia belum mengenal tulisan (saman pra sejarah), manusia saling berhubungan atau berkomunikasi sesamanya hanya dengan kata-kata, namun seiring dengan berjalannya waktu, komunikasi antar manusia pun berubah menjadi beragam cara termasuk lahirnya berbagai simbol atau tulisan (saman sejarah).



















Merasa 'gengsi' dengan beragamnya kebudayaan yang eksis di dunia, maka Sumbawa pun melahirkan sebuah karya budaya dalam bentuk sastra tulisan yang dinamakan satera jontal. Satera jontal bukan sebuah sastra dari tulisan, melainkan bagaimana simbol tulisan itu sendiri disepakati dan dijadikan alat untuk berkomunikasi dalam bentuk tulisan..




















Satera Jontal merupakan kebudayaan kuno etnis Samawa (sumbawa) yang diwujudkan dalam bentuk lambang, kemudian tiap-tiap lambang tersebut terdapat makna tersendiri. Dinamakan satera jontal, karena tulisan ini banyak ditulis di atas jontal (daun lontar). Dan Satera merupakan sastera dalam bahasa Indonesianya.

Daun lontar merupakan tanaman yang banyak tumbuh di dataran sumbawa. untuk menulis satera jontal bukan menggunakan tinta, namun bara apilah yang digunakan untuk menggores permukaan lontar tersebut sehingga berbentuklah kalimat. peninggalan satera jontal masih ada di sumbawa. dan itu merupakan barang sejarah yang harus di lestarikan







Tulisan terkait
Temar Otak: Metode Penyembuhan Sakit Tenggorokan Ala Sumbawa
Penjual Tepung Genang: dari mana Mereka Datang?
»»  Selengkapnya

Macro Photography


Post by : Smanika School Photography - Sumbawa Besar

Foto-foto sesuatu kecil yang ditampilkan dengan perbesaran 1:2 atau lebih… (1:1, 2:1,…dst) fotografer.net

1:1 = objek 1 cm, di sensor  akan 1 cm, di jendela bidik anggap aja 1 satuan
2:1 = objek 1 cm, di sensor jadi 2 cm (lebih besar 2x), di jendela bidik akan kelihatan 2 kali lebih besar dari jendela bidik yang pertama (1:1)
atau saya mengartikan  = Foto sedekat-dekatnya dengan objek
»»  Selengkapnya
 

SENI BUDAYA SAMAWA Blak Magik is Designed by productive dreams for smashing magazine Bloggerized by Ipiet © 2008